Sabtu, 24 Mei 2014

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Melaksanakan Perintah Agama

Penulis: Irwan Prasetia/43111719/3DC01/Tugas/Hukum Perburuhan/Gunadarma/Opini

Langsung ke topik bahasan, pada pasal 153 ayat 1C prihal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjelaskan bahwa Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.

Penulis dengan sepenuh hati mendukung dan menyetujui satu ayat pada pasal tersebut, selain berpihak ke kaum pekerja dengan alasan yang bisa diterima, tentunya ini menjadi proteksi agar pekerja dapat melaksanakan kebutuhan rohani masing-masing dengan nyaman tanpa harus kehilangan mata pencaharian.

Ada satu hal yang jadi pertanyaan bagi penulis sendiri, dalam kalimat pada pasal tersebut terdapat kata "agamanya", agama dimaksud mungkin semua agama selama agama itu mengajarkan kebaikan, karena istilah agama yang diakui (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha) sudah tidak berlaku, setiap individu bebas memilih agama diluar lima agama tersebut, persolan pun akan muncul bila pekerja menganut agama yang menuntut ibadah sepenuhnya setiap saat jauh melebihi shalat 5 waktu bagi agama Islam, dalam pasal tersebut pekerja seperti ini dilarang untuk di-PHK, namun tentu pekerja tidak akan produktif dalam bekerja karena waktu untuk bekerja menjadi minim. Pertanyaannya, apakah perusahaan tetap harus membayarkan gaji pekerja/buruh tersebut? Pertanyaan ini sebenarnya tidak harus dijawab karena kasus seperti ini hanya imajinasi penulis dan kemungkinannya pun kecil, penulis mohon maaf?

Yang menjadi realita di lingkungan penulis, didasari miskinnya pengetahuan hukum beberapa pekerja, pernah terjadi PHK terhadap satu orang pekerja yang melaksanakan ibadah haji sehingga segala bentuk pekerjaan dari perusahaan tertangguhkan, terlebih PHK bersifat sepihak dan pesangon tidak dibayar dengan nominal perumusan menurut undang-undang pasal 156 (nominal pesangon kecil), penulis tidak menyangkal bahwa perusahaan memiliki ratusan pekerja.

Ini merupakan pelanggaran berat bagi perusahaan yang juga pernah tersandung masalah hukum terkait Upah Minimum Regional (UMR), namun atas minimnya pengetahuan hukum bagi pekerja, dan longgarnya pengawasan pihak berwenang, sampai sekarang perusahaan masih bisa bertolak pinggang dan leluasa melakukan pelanggaran, toh kalaupun dilaporkan walau sudah berulang kali tetap saja seperti ini kondisinya.

Agar hal-hal seperti disebutkan tidak terjadi, berlanjut, atau terulang, penulis menanamkan bahwa semua pihak terlibat harus bersama-sama menggerakan roda ekonomi dengan iklim yang kondusif secara kontinyu, dimana pekerja dengan ikhlas melaksanakan kewajibannya, pelaku bisnis atau pengusaha patuh terhadap aturan berlaku dan terpenting pemerintah harus tegas, menjunjung tinggi azas kemakmuran, dan anti akan lobi-lobi mafia bertopeng pengusaha.

Penulis yakin bila solusi tersebut mampu dijalankan dengan sebaik-baiknya, sektor ekonomi kita pasti lebih maju dari negara maju sekalipun.

Penulis: Irwan Prasetia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar